Domba Garut, Dari Peliharaan, Kesenian, Hingga Dagingnya Yang Nikmat!
Tubuh besar dan berotot, kuda-kuda yang kokoh, serta tanduk besar dan melengkung. Mereka siap beradu untuk menentukan siapa yang terbaik. Musik khas sunda ditabuh. Para juri siap untuk menilai dan wasit siap untuk memisahkan mereka jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Riuh sorak penonton ikut meramaikan pagelaran ini.
Ya, itulah gambaran kesenian tradisional asal Garut. Adu Ketangkasan Domba (ngadu domba dalam bahasa sunda). Domba Garut dipercaya berasal dari domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja yang memiliki ciri sangat spesifik, yaitu memiliki kombinasi telinga rumpung (rudimenter) dengan ukuran di bawah 4 cm atau ngadaun hiris dengan ukuran 4 – 8 cm dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong, warna dominan hitam terutama pada bagian muka dengan bentuk tubuh ngabaji.
Domba Garut, yang berbahasa latin Ovies Aries ini hasil persilangan antara domba lokal, domba Kaapstad (ekor gemuk) dan domba Merino yang dibentuk kira-kira pada pertengahan abad ke 19 (±1854) yang dirintis oleh Adipati Limbangan Garut, sekitar 70 tahun kemudian yaitu tahun 1926 domba Garut telah menunjukan suatu keseragaman. Bentuk tubuh domba Garut hampir sama dengan domba lokal dan bentuk tanduk yang besar melingkar diturunkan dari domba 5 Merino, tetapi domba Merino tidak memiliki “insting” beradu.
Ciri khas domba garut jantan terletak pada ukuran tanduknya yang besar dan melengkung ke belakang. Tanduk domba jantan dapat berwarna hitam atau putih. Tanduk yang berwarna dominan hitam dengan belang putih umumnya lebih keras dan padat. Bagian dalam tanduk tidak kopong.7 Sebaliknya, tanduk yang berwarna putih atau hitam tanpa corak umumnya memiliki bagian dalam tanduk yang kopong. Karena itu, tanduk yang belang umumnya lebih bagus dibandingkan dengan tanduk yang memiliki satu warna saja. Berbeda dengan jantan, domba betina tidak memiliki tanduk. Karena ukuran tubuh dan tanduknya yang besar dan kuat, domba garut juga sering dijadikan sebagai domba aduan terutama di daerah asalnya Garut. Aduan domba garut ini menjadi andalan masyarakat Garut sebagai Kesenian khas daerah. Semakin kuat, harganya semakin mahal dan dapat dijadikan sebagai standar status sosial seseorang. Selain itu, domba Garut juga memiliki kulit dan kualitas yang bagus. Bahkan dapat menjadi salah satu yang terbaik didunia.
Pada tahun 1900, bermula dari anak gembala yang iseng ketika melihat domba yang digembalakannya memiliki sifat agresif, maka para gembala domba tersebut disela -sela waktu menyabit mengadu domba – domba jantan yang ada disekitar mereka. Tahun 1905 orang tua para gembala atau para juragan pemilik domba, mulai tertarik dan membuat agenda khusus untuk menyelenggarakan kegiatan adu domba antar kampung, sehingga lama kelamaan kegiatan tersebut mulai menyebar luas ke daerah lain, seperti ke Wilayah Kabupaten Bandung dan Sumedang. Tahun 1920-1930 kegemaran adu domba ini mulai ditampilkan di daerah perkotaan, termasuk pemah diselenggarakan di Alun-alun Bandung. Tahun 1942 -1949 kegiatan adu domba fakum, karena masa perang kemerdekaan. Tahun 1953 kegiatan adu domba mulai marak kembali, bahkan pada tahun 1960 bermunculan arena-arena adu domba. Tahun 1970-an didirikan organisasi HPDI (Himpunan Peternak Domba Indonesia), kemudian tahun 1980 berubah menjadi HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia) dan disepakati untuk mengubah istilah adu domba menjadi ketangkasan domba, hal ini untuk mengubah citra adu domba yang negatif dan terkesan senantiasa terkait dengan perjudian, menjadi istilah yang memiliki konotasi positif.
Masih banyak orang yang mengira bahwa Adu Ketangkasan Domba menyiksa domba tersebut. Namun jangan salah paham, domba yang diadu tidaklah sampai mati. Ada ketentuan dan syarat dalam laga adu domba ini.
Dalam seni ketangkasan domba jarang terjadi kecelakaan pada ternak domba apalagi sampai terjadi cacat atau mati, sebab setiap pertandingan selalu diawasi oleh : dewan hakim, dewan juri, dan wasit Adapun laga terbagi atas kelas-kelas, yaitu :
Kelompok kelas A dengan berat badan 60 – 80 kg ;
Kelompok kelas B dengan berat badan 40 – 59 kg ;
Kelompok kelas C dengan berat badan 25 – 39 kg.
Kelompok dengan kriteria khusus yang mempunyai kesamaan warna bulu, tinggi, berat badan, keserasian tanduk, keserasian gaya pukulan dan keserasian lainnya.
Agar tidak terjadi kecelakan dan kematian pada domba Garut, maka pukulan-pukulan ketika domba Garut beradu dibatasi. Untuk kelas A terdiri atas 25 pukulan, kelas B terdiri atas 20 pukulan, dan kelas C terdiri atas 15 pukulan. Dalam penilaian adu ketangkasan ini, ada kriteria khusus diantaranya dilihat dari dari pukulan, gaya bertanding, ketangkasan dalam bertanding, keindahan fisik, kelincahan dan stamina.
Adu Ketangkasan Domba ini biasanya digelar di Cikandang, Kecamatan Cikajang, serta di Rancabango, Kecamatan Tarogong. Namun adu ketangkasan ini bisa dilihat diberbagai daerah di Jawa Barat, khususnya Bandung, Sumedang, Cianjur, Subang, dan Tasikmalaya.
Selain menjadi salah satu atraksi kesenian dan kebudayaan, Domba Garut pun sering dijadikan santapan bagi para pecinta daging domba. Dagingnya yang lezat serta khasiatnya menjadikan Domba Garut pun popular bagi para pecinta kuliner yang berbahan dasar Domba Garut.
***
Dukung terus Jelajah Garut melalui usaha-usaha kecil yang kita jalankan:
Jelajah Garut Merchandise | Jelajah Garut Tour Organizer | Jelajah Garut Outdoor Gear Rental
3 thoughts on “Domba Garut, Dari Peliharaan, Kesenian, Hingga Dagingnya Yang Nikmat!”