Selamat datang di Garut, dimana keindahan alam priangan berpadu-padan dengan kekayaan produk budaya masyarakatnya. Garis pantai-nya yang terpanjang di Jawa Barat juga melengkapi rangkaian pegunungannya. Santapan lezat khasnya hanya bisa dikalahkan oleh ramah tamah warganya. Selamat datang di Garut, Surga di Tanah Priangan.

I. INFORMASI UMUM

1. Letak Geografis dan Iklim

Garut merupakan salah satu kota priangan timur di daerah Jawa Barat dan merupakan salah satu kabupaten yang terletak sekitar 64 km sebelah tenggara Bandung ibu kota Jawa Barat dan sekitar 250 km dari Jakarta. Garut berada pada ketinggian 0 m sampai dengan 2800 meter, berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia di sebelah selatan yang memanjang sekitar 90 km garis pantainya. Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56’49” – 7 º45’00” Lintang Selatan dan 107º25’8” – 108º7’30” Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha (3.065,19 km²) dengan batas-batas sebagai berikut :

Utara               : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang

Timur               : Kabupaten Tasikmalaya

Selatan            : Samudera Indonesia

Barat               : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur

Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hitterland bagi pengembangan wilayah Bandung Raya. Oleh karena itu, Kabupaten Garut mempunyai kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan warga Kota dan Kabupaten Bandung sekaligus pula berperan di dalam mengendalikan keseimbangan lingkungan.

Kota Garut berhias gunung-gunung yang menjulang, termasuk Gunung Gede (atau Gunung Papandayan), Gunung Guntur dan Gunung Cikuray. Di saat fajar, pemandangan gunung terkesan misterius dengan lingkup kabut yang menebal dan terlihat dari kejauhan. Kala senja di saat matahari berwarna merah dan mulai menghilang di ufuk barat, kesan itu pun muncul kembali.

Pada era 20-an, Garut dikenal sebagai Swiss van Java, karena pesona alamnya yang menakjubkan dengan kontur yang sangat eksotis dan disempurnakan dengan hawa yang sejuk dan bersih. Bukan hal aneh jika Garut yang begitu indah kemudian dijadikan kota wisata oleh seorang Belanda bernama Holke van Garut (seorang gubernur kesayangan pemerintah Belanda pada tahun 1930-1940) dan melihat kabupaten ini berpotensi sehingga dijuluki sebagai ”Switzerland van Java” dan kemudian mendirikan hotel di sana. Di wilayah ini juga pernah didirikan dua hotel yang antara lain bernama Hotel Belvedere dan Hotel Van Hengel.

Bahkan pada pertengahan tahun 1950-an Garut terkenal dengan sebutan Kota Intan. Jarak yang tidak begitu jauh dari Bandung itu, menjadikan kota Garut cukup ramai di kunjungi baik oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dapat terlihat dengan cukup padatnya kota ini terutama pada akhir minggu atau musim libur anak sekolah.

Di bagian Utara, Timur, dan Barat didominasi pemandangan hijau dengan kondisi alam berbukit-bukit dan pegunungan. Sedangkan bagian permukaan alam Selatan Kota Garut cenderung berbentuk relatif curam dengan corak alam pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Secara garis besar, Garut memiliki iklim tropis basah ( human tropical climate ) dengan klasifikasi iklim Koppen. Faktor iklim dan cuaca Garut ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : (1). Pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattern), (2). Topografi regional yang bergunung-gunung di bagian tengah Jawa Barat; dan (3) Elevasi topografi di Bandung. Curah hujan rata-rata tahunan di sekitar Garut berkisar antara 2.589 mm dengan bulan basah 9 bulan dan bulan kering 3 bulan, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai 3500-4000 mm. Variasi temperatur bulanan berkisar antara 18° C – 26° C.

2. Kondisi Politik dan Pemerintahan

Garut dipimpin oleh seorang bupati. Hingga saat ini sudah 26 orang menjabat menjadi bupati Garut. Namun, 2 periode kepemimpinan bupati Garut yang lalu diwarnai dengan pemakzulan oleh warga Garut karena tersangkut kasus korupsi dan pernikahan kilat. Hal ini menyebabkan kondisi politik di Garut pada saat itu menjadi carut marut dengan berbagai aksi demo bupati, namun tidak menyurutkan minat wisatawan untuk datang berkunjung ke Garut.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, berlaku sistem kerajaan-kerajaan dimana ketika ada bupati yang meninggal atau berhenti karena suatu hal, maka tombak kepemimpinan diganti oleh puteranya atau seseorang yang masih mempunyai hubungan darah.

Hal ini terjadi ketika bupati pertama RAA Adiwijaya (1813-1831) digantikan oleh puteranya R.A.A Kusumadinata (1831-1833) sebagai bupati kedua.   Lalu bupati kedua diteruskan oleh menantunya Tumenggung Jayadiningrat (1833-1871) sebagai bupati yang ketiga.  Masih memiliki ikatan kekeluargaan, bupati ketiga digantikan oleh R.A.A Wiratanudatar (1871-1915) sebagai bupati yang keempat.  Selanjutnya bupati keempat digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Kartalegawa (1915-1929) yang menjadi bupati kelima.  Kemudian ia diteruskan oleh puteranya Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa (1929-1944) sebagai bupati keenam.

Dewasa kini, Garut tumbuh menjadi kota tujuan wisata. Kondisi ini ditunjang dengan aktifitas politik stabil. Garut terdiri atas 42 kecamatan, yang dibagi lagi atas 424 desa dan 21 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Tarogong Kidul. Pemerintah Garut pun mengadakan pemilihan bupati baru pada bulan Januari 2014 dengan aman dan tertib dengan bupati yang terpilih yaitu H. Rudy Gunawan, S.H., M.H., M.P.

 3. Penduduk dan Ekonomi

Pada tahun 2013, catatan sipil pemerintah Garut mencatat jumlah penduduk Garut sebanyak 3.003.003 jiwa dengan jumlah pria 1.532.467 jiwa dan wanita 1.470.566 jiwa. Jumlah penduduk terpadat berada di Kecamatan Garut Kota dengan jumlah pria 87.006 jiwa dan wanita 83.869 jiwa. Total kepala keluarga adalah 575.410 kepala keluarga dan sebanyak 221.148 kepala keluarga masih dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, Garut termasuk salah satu kabupaten yang masih tertinggal.

Masalah utama Kabupaten Garut adalah masih banyaknya pengangguran. Pemerintah kabupaten serta pihak swasta belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi penduduk Garut.

Secara garis besar, mayoritas penduduk Garut bekerja sebagai petani. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah di Garut sangat subur. Sebanyak 38,18% penduduk Garut bekerja sebagai petani, 21,78% bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran, 9,80% disektor industri, 16,45% disektor jasa, dan 13,79% disektor lainnya dengan pendapatan per kapita tahun 2012 sebesar Rp. 30.147.000.012. Sektor pertanian dan perhotelan menjadi penyumbang terbesar.

4. Sosial dan Budaya

Sebagian besar masyarakat Garut merupakan suku Sunda dan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan bahasa sehari-hari. Suku Sunda terkenal dengan keramahannya, kelembutannya, serta sopan santunnya. Bahasa yang digunakan terbagi atas 3 bagian yaitu kasar, lemes, dan bahasa untuk sesama (didaerah Jawa seperti Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil). Seperti aku atau saya, untuk bahasa kasarnya aing, lemesnya abdi/simkuring, dan bahasa untuk sesama adalah urang.

Namun bahasa Sunda Garut dan daerah lainnya memiliki sedikit perbedaan dengan daerah yang menggunakan bahasa Sunda lainnya seperti Sukabumi, Cianjur, Tasik dan Bogor. Contohnya kolam atau empang, di Garut dan Tasik sering disebut balong, namun di Cianjur dan Sukabumi disebut kulah. Namun perbedaan kata ini tidaklah signifikan. Secara garis besar adalah sama dan Garut merupakan salah satu daerah yang menggunakan bahasa Sunda secara murni.

Masyarakat Garut pun mempunyai kegiatan mingguan dan tahunan. Yang paling terkenal adalah Seni Adu Domba yang merupakan kesenian turun temurun. Adalagi upacara adat yang dilaksankan oleh masyarakat adat di Garut. Upacara Seba yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Ciburuy, Upacara Ngalungsur oleh masyarakat Godog dalam rangka menghormati benda-benda peninggalan Sunan Godog, Upacara ke Makam Karomah, Upacara 12 Mulud, dan Upacara 14 Mulud yang dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Dukuh. Ada juga Hajat Laut Pakidulan oleh masyarakat Cikelet dalam rangka mensyukuri hasil laut yang telah diberikan Allah SWT.

II. SEJARAH GARUT

1. Awal Mula Kota Garut 

  • Limbangan merupakan salah satu daerah yang subur makmur, aman, dan tenteram. Pada masa penyebaran agama Islam di Jawa Barat, Sunan Syarif Hidayatullah menunjuk Raden Widjajakusumah sebagai Bupati pertama Limbangan dan sebagai wakil beliau yang menggantikan Dalem Prabu Liman Sendjaya.
  • 24 Maret 1706, Limbangan dikembalikan statusnya menjadi Kabupaten Limbangan oleh VOC dan menunjuk Rangga Mertasinga sebagai bupatinya.
  • 2 Maret 1811, Kabupaten Limbangan dibubarkan oleh Gubernur Jendral Daendels yang merupakan penguasa tertinggi pemerintah kolonial Belanda. Alasannya adalah karena produksi kopi didaerah tersebut menurun hingga titik terendah serta ada penolakan dari bupat untuk menanam nila.
  • 16 Februari 1813, Gubernur General Raffles melalui surat keputusannya mengembalikan status Limbangan menjadi kabupaten di Keresidenan Priangan, dengan Tumenggung/Adipati Adiwidjaja sebagai Bupati Limbangan.
  • Berkaitan dengan pengembalian status Limbangan menjadi Kabupaten, maka Adipati Adiwidjaja mencari tempat untuk ibu kota kabupaten yang cocok karena Suci wilayahnya sempit dan tidak subur lagi.
  • Beliau membentuk panitia untuk mencari daerah yang cocok untuk ibu kota. Awalnya daerah Cimurah, 3 km timur Suci. Namun daerah tersebut sulit air bersih. Lalu bergeser 5 km ke arah barat Suci, dan menemukan tempat yang cocok sesuai dengan kriteria dan kebutuhan pemerintahan dan masyarakat. Tanah subur, air yang bersih, dan dikelilingi gunung-gunung.
  • 15 September 1813, peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Terdapat juga Babancong, tempat bupati berpidato di depan pendopo.
  • Tahun 1889, dibangun stasiun kereta Cibatu untuk menyokong kegiatan pengangkutan hasil perkebunan di Garut dan tempat pemberhentian pejabat Belanda.
  • 14 Agustus 1925, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah otonom oleh Gubernur Jenderal dengan R.A.A Soeria Kartalegawa yang menjadi bupati pertama memimpin Kabupaten Garut.

2. Peristiwa Penting Dalam Mempertahankan Kedaulatan

  • 19 Juli 1919, terjadi Pertempuran Cimareme terhadap Belanda yang dipimpin oleh Haji Hasan dikarenakan penolakannya atas sikap semena-mena Belanda dengan kebijakan Peraturan Pembelian Padi.
  • 12 Oktober 1945, terjadi pertempuran Kubang di Banyuresmi dalam menghadang konvoi pasukan Jepang yang akan masuk ke Garut dari arah Ujung Berung, Bandung.
  • 3 September 1947, Peristiwa Leuwigoong di Garut, saat melakukan penghadangan terhadap tentara Belanda yang sedang melakukan melakukan perjalanan  dari arah Leles-Cibatu menggunakan kendaraan truk.
  • 17 April 1952, terjadi penyerangan DI/TII di Desa Cipari dan Pesantren Cipari, Wanaraja oleh sekitar 3000 pasukan DI/TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo.

3. Hari jadi Garut

Awalnya pada masyarakat berpendapat bahwa hari jadi Garut jatuh pada tanggal 17 Maret 1913, namun mulai tahun 1963 Hari Jadi Garut diperingati pada tanggal 17 September sesuai dengan temuan tulisan di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun penanggalan ini diubah dalam PERDA Kab. DT II Garut No. 11 Tahun 1981 tentang Penetapan Hari Jadi Garut yang diundangkan dalam Lembaran Daerah pada tanggal 30 Januari 1982 dan ditetapkan Hari Jadi Garut itu jatuh pada tanggal 17 Maret 1813. Namun Hari Jadi Garut diubah menjadi tangga 16 Februari 1813 karena Kabupaten Limbangan digantikan oleh Kabupaten Garut dan bupati pertama pasca pembubaran Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut dilantik.

4. Asal Mula Nama Garut

Bupati Adiwijaya bersama perwakilan Belanda mencari tempat yang cocok untuk ibukota kabupaten. Setelah penelusuran,ditemukan satu daerah yang subur dan dikelilingi gunung.

Pada saat menemukan mata air, seorang panitia tangannya terluka diakibatkan kakarut (tergores-red) semak belukar. Perwakilan Belanda tersebut tidak bisa melafalkan kata kakarut dengan jelas dan menyebutkan gagarut. Semenjak peristiwa itulah para panitia menamai tanaman semak belukarnya itu dengan Ki Garut dan telaga dari sumber mata airnya nya dengan nama Ci Garut.

  1. Terima kasih telah berbagi pengetahuan mengenai asal mula sejarah Kabupaten Garut, buat saya sangat berkesan karena saya asli Cibatu Garut. Semakin mencintai daerah sendiri, walaupun pernah mengunjungi beberapa negara di luar negeri, jadi ingin mengembangkan apa yang seharusnya masyarakat Garut lakukan, yaitu sektor agroindustri agar mengurangi arus urbanisasi dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan di daerah sendiri.

  2. alvarisi says:

    Bangunan bersejarah digarut smekin sesikit dan tergerua jaman. Harus ada langkah/gerakan melestarikan sejarah. Supaya Garut tidak kehilangan identitas.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

Pin It on Pinterest

Shares
Share This