Festival minum teh bersama di Cigedug tahun ini kembali diselenggarakan, tepatnya tanggal 29 Oktober kemarin. Tradisi Nyaneut, tradisi minum teh bersama, memang sudah dua tahun kebelakang direkonstruksi menjadi sebuah festival yang meriah dengan disertai pagelaran seni serta hiburan khas Sunda. Nyaneut Festival 2016 kali ini adalah yang ketiga, setelah dua tahun sebelumnya juga sukses diselenggarakan.
Penyelenggaraan festival ini sempat mengalami penundaan akibat terjadinya bencana banjir bandang Sungai Cimanuk, bulan September lalu. Setelah ditunda hampir satu bulan, akhirnya festival ini bisa kembali diadakan. Untuk memperingati peristiwa banjir bandang Garut, Nyaneut Festival 2016 kali ini mengambil tema kelestarian alam.
Dengan tema ini, rangkaian acara Nyaneut Festival kali ini jadi agak berbeda dengan tahun kemarin. Dimulai dengan penanaman pohon di salah satu hulu sungai Cimanuk di lereng Gunung Cikuray pada pagi hari. Kaulinan barudak sudah tersedia di lapangan Situ Gede Cigedug, sehingga siang hari para pengunjung bisa bermain. Acara pun dilanjut pada sore hari dengan sharing Sejarah Gunung Cikuray, yang dulu bernama Gunung Larang Srimanganti. Menjelang Maghrib hujan mulai turun, dan acara pun dihentikan sementara hingga Isya untuk istirahat shalat sekaligus menunggu hujan reda.
Setelah Isya, hujan telah betul-betul reda, dan kemeriahan acara Nyaneut Festival 2016 mulai sangat terasa. Dimulai dengan mapag tamu, mengantar tamu menuju tempat minum teh bersama. Dihibur dengan atraksi Geprak Tongkat yang meriah. Geprak Tongkat adalah kesenian yang mengkombinasikan sholawat dengan gerakan-gerakan seperti beladiri dengan menggunakan tongkat.
Acara pun dilanjutkan menuju puncaknya dengan prosesi minum teh bersama, atau Nyaneut. Dimulai dengan mapag cai, mengantarkan air teh kepada tamu dan menyiapkannya. Teh disimpan pada teko bambu dan disiapkan pada gelas bambu, membuat kesan alami dan tradisional sangat kental. Gelas bambu diisi dengan teh, lalu gelas bambu diputar dua kali searah jarum jam. Teh kemudian dihirup aromanya sebanyak tiga kali sebelum disruput pelan-pelan.
Cara minum teh ini mirip dengan upacara minum teh, Sadou, di Jepang lho, Travelmate, malah acara ini bisa jadi lebih meriah karena direkonstruksi menjadi sebuah festival. Perlu diteliti kembali apakah ada hubungan sejarah dari kemiripan cara minum teh masyarakat Cigedug ini dengan cara minum teh orang Jepang sana.
Teh Nyaneut ini lazim disebut juga teh kejek. Dalam bahasa sunda, kejek berarti diinjak. Daun teh yang telah disangrai lantas dinjak-injak di parit panjang. Tujuannya untuk menyempurnakan proses mengeluarkan getah daun teh sehingga hasil fermentasinya yang lebih baik. Nah, jangan khawatir, Travelmate, walaupun dibuat dengan cara diinjak-injak, teh ini dijamin bersih kok. Lebih dari itu, aroma teh yang dikeluarkan teh kejek ini sangat harum dan nikmat ketika dihirup, jauh lebih harum dari teh biasa.
Sambil minum teh, kita juga disediakan rebusan-rebusan khas Sunda, seperti hui (ubi), sampeu (singkong), suuk (kacang tanah), dll. Jika teh-nya habis, kita tinggal minta teko bambu nya diisi lagi saja, jadi kita bisa minum teh sepuasnya. Sambil minum teh dan ngemil, hiburan pagelaran seni pun dipentaskan.
Banyak sekali pagelaran yang dipentaskan, dari mulai Kecapi Suling, Reog Geboy yang berisi bobodoran atau humor khas sunda, hingga Kasidahan yang kental dengan nuansa islam. Untuk seni-seni ini, Cigedug punya talenta-talenta lokal dari kalangan ibu-ibu.
Ada juga Tari Topeng Oces, yang dipentaskan gadis-gadis cilik lokal dari Cigedug. Tari Topeng Oces ini mengambil tema pertanian. Gadis-gadis cilik ini dengan lihai menari dengan gerakan menanam, mengolah tanah, mengusir hama, dan memanen, lengkap dengan keindahan Tari Topeng. Tari Jaipong juga tidak kalah menarik. Tari Jaipong yang dipentaskan adalah Tari Maung Lugay (Harimau berjalan/bergaya). Walaupun mengambil simbol Harimau (Maung), yang mementaskan tari jaipong ini tetap seorang wanita. Tidak seperti tari jaipong biasa, tarian ini lebih dinamis dan memiliki kesan kuat, gesit, dan garang, seperti seekor harimau, namun tetap dengan kecantikan dan kelembutan seorang wanita.
Selain pagelaran seni tradisional, hiburan juga diisi dengan pentas seni yang lebih modern. Ada talenta cilik lokal, Jesinda, serta grup band reggae yang ikut memeriahkan suasana. Tak pelak, acara malam Nyaneut Festival 2016 kemarin berlangsung hingga larut malam.
Acara ini pun tak lepas dari pesan-pesan moral untuk menjaga alam, terutama Gunung Cikuray, tempat acara Nyaneut Festival ini diadakan. Pesan ini pun disampaikan pada penghujung acara yang ditontonkan yaitu wayang golek. Alur ceritanya adalah ketika Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng bertempur dengan kocak melawan para perusak hutan dan gunung yang mempunyai ilmu beladiri yang hebat, dibantu oleh seorang ksatria, yaitu Gatot Kaca.
Kang Dasep Badrusalam selaku perintis dan penggerak dari acara ini berharap Nyaneut Festival ini bisa menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun asing. Acara Nyaneut Festival 2016 ini dihadiri oleh Kepala Dinas Pariwisata Garut, Pak Budi Gan Gan, serta budayawan seperti H. Kuswandi MD, SH serta Kang Aan Merdeka Permana yang merupakan sejarawan dan penulis. Komunitas Jelajah Garut sendiri mengikuti acara hingga selesai dan mendirikan tenda untuk berkemah di Lapangan Situ Gede Cigedug.