Di banyak wilayah di Indonesia, ada yang namanya Seni Hadrah. Nah, di Garut, seni ini jadi bernama Hadro. Di Garut, kesenian Hadro ini tumbuh dan berkembang di daerah Bungbulang, tepatnya dari Desa Bojong, dengan nama kelompok seni Panca Mustika. Seperti seni Hadrah pada umumnya, Hadro juga berisi musik terebang (sejenis rebana) dengan syair-syair bernafaskan islam.
Pada hakikatnya, kesenian Hadro merupakan perpaduan kebudayaaan arab dengan kebudayan setempat, yang dilatar-belakangi upaya penyebaran agama islam dahulu. Istilah Hadro dan Hadrah sendiri berasal dari bahasa Arab ”Hadrah” yang artinya hadir. Hadir di sini maksudnya adalah hadirnya rasa cinta dan keyakinan terhadap Islam, yang terus dilantunkan dalam syair-syair kesenian ini.
Para pemain kesenian ini memakai baju kemeja putih lengan panjang yang dihiasi selendang dengan ikat kepala merah serta celana panjang hitam. Mereka kemudian memeragakan gerakan bela diri seperti Pencak Silat, diiringi nyanyian dengan syair yang berisi ajaran islam dan tabuhan alat musik terebang sebanyak empat buah, terompet, dan bajidor.
Terebang yang berjumlah empat buah ini memiliki nama dan fungsi masing-masing, diantaranya terebang talingtit, terebang kempring, terebang kompeang, dan terebang bangsing. Terebang talingtit adalah yang terkecil dan berperan sebagai pembawa pangkat pada suatu pergelaran. Terebang kempring berperan untuk menentukan tempo permainan. Terebang kompeang ditabuh untuk mengiringi irama terebang kempring, dan terebang bangsing berperan sebagai goong kecil.
Gerakan pada kesenian ini didominasi dengan gerakan pencak silat yang berarti patriotisme sedangkan syair yang dinyanyikan berasal dari sajak Syech Jafar Al-Barzanji. Koreografi gerakan pencak silat yang diperagakan dalam kesenian Hadro ini sudah dimodifikasi, sehingga gerakan pencak silat dalam kesenian ini tidak sama persis dengan gerak pencak silat yang aslinya.
Kelompok seniman Hadro di Bungbulang saat ini menamakan diri mereka Panca Mustika, yang memiliki 5 nilai atau pantangan, sesuai nama mereka. Kelima pantangan tersebut adalah Ulah Ngarempug Tugu (Jangan Melanggar Hukum), Ulah Ngarempak Canar (Jangan Mengubah Keputusan Bersama), Ulah Ngarempak Meulah Pamali (Jangan Merasa Benar Sendiri), Ulah Ngukut Anjing Belang (Jangan Iri Hati), dan Ulah Ngukut Ucing Belang (Jangan Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain).
Yang pertama kali mengenalkan kesenian ini di Garut adalah Kyai Haji Sura dan Kyai Achmad Sayuti yang berasal dari Kampung Tanjung Singuru Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut sekitar tahun 1917. Tanpa disangka, kesenian ini mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Pada awal perkembangannya kesenian Hadro hanya dipentaskan pada acara Maulid Nabi Muhammad saw dan pada acara 40 hari kelahiran bayi. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian ini dipergunakan pula pada kegiatan sosial lainnya seperti acara khitanan, pernikahan, dan acara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, serta Hari Jadi Garut.
Gerakan pencak silat mempunyai arti kepatriotan pejuang muslim dalam menentang penjajahan. Hmmm.. ternyata kesenian ini memang unik travelmate! Akulturasi budaya berpadu dengan seni bela diri yang syarat akan nilai-nilai religius. J
Dukung terus Jelajah Garut melalui usaha-usaha kecil yang kita jalankan:
Jelajah Garut Merchandise | Jelajah Garut Tour Organizer | Jelajah Garut Outdoor Gear Rental